view belitungview belitung
Paket
Sewa
Contact Us

Bangunan Bersejarah di Belitung


Ada cukup banyak bangunan-bangunan bersejarah atau Benda Cagar Budaya di Pulau Belitung. Hal ini sebenarnya bisa menjadikan nilai tambah buat para wisatawan yang ingin menikmati Pulau Belitung, disamping menikmati alam panorama pantai-pantai berpasir putih yang dipagari oleh bebatuan granit raksasa. Beberapa bangunan bersejarah/Benda Cagar Budaya tersebut pernah memiliki peranan penting pada puluhan atau ratusan tahun silam di Negeri Laskar Pelangi ini.

- Bendungan Pice

Sekitar tahun 1722, kongsi dagang VOC mengadakan perjanjian dengan Sultan Ratu Anum Kamarduin dari Palembang untuk membeli timah secara monopoli. Maka sejak itu VOC memulai kecurangan-kecurangan dan pelanggaran janji yang mengakibatkan ketengan dan sikap permusuhan.

Pada tahun 1759, Residen Palembang De Herre mendarat dekat Tanjungpandan untuk beberapa jam meneliti tanahnya. Setelah Residen Palembang De Herre melakukan penelitian, ia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada bijih timah disana (Koppong erts). Timah kopong adalah pasir yang mirip pasir timah tapi tidak mengandung timah. Konon, pengkopongan pasir timah dilakukan oleh dukun tanah di Belitong.

Kemudian pada tanggal 21 Oktober 1821, datanglah Syarif Mohamad dari Palembang guna membuka jalan bagi masuknya Belanda ke Belitong dan mengibarkan pertama kali bendera Belanda di Tanjung Sinba. Syarif Mohamad mencoba menguasai Depati K.A Rahad yang masih berusia muda, tapi upaya itu tidak berhasil. dalam tahun 1822, ditempatkan pula bala tentara dibawah pimpinan seorang Kapten bangsa Belgia bernama J.P. De La Motte.

Pada tahun 1823 J.P. De La Motte dipanggil kembali dan digantikan oleh J.R Bierschel sebagai Asisten Residen dan Kaptem kuehn sebagai pimpinan tentara karena usahanya untuk menemukan timah gagal. Dengan pimpinan yang bijaksana, Bierschel berhasil mendapat pengertian yang baik dari rakyat. Ia bahkan berulang kali mendesak pemerintahan Belanda hak Depati K.A. Rahad itu diakui, akan tetapi sia-sia. Sementara itu Bierschel tak ketinggalan pula mencari Timah dan menemukannya. Namun keinginannya untuk menggali Timah selalu ditolak.

Sikap akomodatif dari Asisten Residen J.W. Bierschel terhadap K.A. Rahad, membuat Syarif Mohamad merasa tidak senang karena seolah mengacuhkan dirinya yang sebelumnya telah dipercayakan untuk menguasai Belitong. Kemudian Syarif Mohamad pun pulang pada tahun 1924 dan mengadukan tindak-tanduk J.W. Biercshel ditarik pulang. Sebenarnya bukan hanya dengan alasan itu ia ditarik pulang tapi karena untuk penghematan anggaran dan karena pencarian timah oleh J.W. Biercshel mengalami kegagalan, yang disebabkan oleh K.A. Rahad tidak menginginkan adanya penggalian timah sebelum hak-hak kekuasaannya diakui oleh Belanda.

Pada tahun 1838 sebelum bulan Juli, Belanda mengirim tim ekspedisi yang dipimpin oleh kolonel P.C. Riedel, guna menyelediki dan mencari tahu tentang sikap Depati yang tak dapat ditundukkan oleh sekian orang pemimpin baik Belanda ataupun pribumi sendiri. Namun P.C. Riedel. Akan tetapi P.C. Riedel nampaknya juga mendengar anjuran dari Residen Bangka de Haase serta mantan Asisten Residen Belitung J.W. Bierschel, agar mengakui hak-hak K.A. Rahad sebagai Depati Belitung. Maka pada tanggal 1 Juli 1838, KA Rahad diakui Belanda sebagai Depati Belitung.

Tahun 1850 Dr. J.H. Croockewit diutus pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan lagi penyeldikan adanya kemungkinan biji timah di Belitong. Namun sekali lagi ia gagal dan tidak mendapatkan bantuan dari Depati K.A. Rahad ataupun dari rakyat. Pada tahun 1851, para eksploler timah berangkat dari Mentok dengan membawa surat resmi kepada K.A. Rahad ke Belitong. Mereka adalah J.F. Loudon dengan pembantu-pembantunya, yaitu Ir. Corns de Groot, J.R. Huguenin, Van Baloemen, Waznders dan J.F. Dekker dan juga Baron van Tuyl. Nampaknya depati K.A. Rahad masih tetap mengatakan jika biji timah tidak ada di Belitong, namun J.F. Den Dekker terus menceri tahu dari penduduk dan ia mendapat keterangan jika ada seorang melayu yang akan menunjukkan adanya timah di Belitong, orang itu dulunya pekerja parit timah pada masa K.A. Hatam di Cerucuk, Tuk Munir dari Singkep. Tuk munirlah yang menunjukkan adanya timah di dekat sungai seburik.

Akhirnya diketahuilah oleh Belanda bahwa tanah Belitong mengandung timah, yang selama ini dirahasiakan oleh K.A. Rahad. K.A. Rahadpun kemudian memerintahkan rakyatnya untuk menunjukkan lokasi yang mengandung timah. Hingga pada tanggal 15 November 1860, perusahaan penambangan timah berdiri dengan nama Billiton Maatschappy. perusahaan ini merupakan perusahaan swasta milik Belanda yang bekerja sama dengan Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Belanda.

Pada tahun 1866, Billiton Maatschappy masih terus mendatangkan mendatangkan pekerja dari negeri Cina hingga berjumlah 2724 orang, dan pada tanggal 9 September 1924, Billiton Maatschappy berubah nama menjadi NV GMB atau NV Gemeenschapelyke Mynbouw Maatschappy Billiton. kemudian kapal-kapal keruk atau EB (Emmer Bagger) mulai didatangkan untuk mengeruk tanah yang mengandung timah diawali dengan kapal perintis (kapal penghisap lumpur, yaitu KPT Sependar dan KPT Air Putih. Kapal-kapal keruk beroperasi hampir di seluruh kawasan Belitong itu antara lain, KK II Lais yang dirakit di sungai Timah dan Bendungan Pice

Pengoperasian Kapal Keruk di sungai Lenggang memberikan hasil timah yang lebih banyak. Hal ini disebabkan daerah sekitar sungai Lenggang mengandung timah lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain. Namun timah tersebut berada sangat jauh dari permukaan tanah, sehingga memerlukan penggalian lebih dalam untuk mendapatkan timah. Sementara kapal keruk yang beroperasi tidak mampu mengeruk timah lebih dalam lagi, karena kapal-kapal keruk tersebut hanya dapat beroperasi pada kedalaman tertentu.

Hal ini membuat Belanda berinisiatif untuk membangun bendungan yang bisa mengatur kedalam air yang memungkinkan kapal-kapal keruk itu dapat beroperasi lebih dalam lagi dan dapat membendung air dari hampir seluruh anak sungai yang ada di Belitong. Maka pada tahun 1928 Belanda membangun yang sering disebut Pice ini hanya digunakan hingga tahun 1933 dikarenakan Belanda ingin memperluas daerah penambangan timah di sekitar sungai Lenggang. Bendungan ini dinamakan Pice karena pada saat itu sering terdengar orang-orang Cina menyebutnya Phicei yang berarti pintu air. Sehingga nama ini terimitasi oleh orang-orang masa itu sampai dengan sekarang. namun sebagian ada yang mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari nama Sir Vance, seorang Insinyur arsitek Belanda yang membangunnya.

Sungai lenggang yang pada masa itu masih berukuran kecil, kemudian diperluas oleh Belanda dengan membersihkan daerah rawa sekitar sungai menggunakan kapal-kapal penghisap lumpur. Pada tahun 1934 dilakukan pembangunan Pice baru dengan enam belas pintu yang berukuran lebih kurang 50 meter di hulu sungai Lenggang. bahan-bahan yang digunakan dalam pembangunan pice ini sama halnya dengan bahan-bahan yang digubakan dalam membangun pice yang lama, yaitu berasal dari luar negeri termasuk dari negeri Belanda itu sendiri. Kecuali batu-batu alam yang digunakan sebagai dasar bendungan berasal dari Belitong. Selama proses pembangunan pice ini, Belanda juga membuat aliran sungai Lenggang terhubung ke laut dan menutup aliran sungai Buta (sungai asli). Pembangunan bendungan ini dikerjakan oleh rakyat pribumi bersama Cina Kuncit, yang merupakan masyarakat Tionghoa yang didatangkan oleh Belanda ke Belitung untuk menambang timah, dikatakan Cina Kuncit karena memiliki rambut terkepang dibagian belakang sedangkan sebagian kepalanya tercukur.

Rakyat pribumi dan Cina Kuncit dalam membuat bendungan bekerja di bawah pengawasan Belanda, dan berhasil diselesaikan pada tahun 1936 dan diresmikan Belanda pada tahun 1937. Sejak Pice difungsikan, kapal keruk atau EB (Emmer Bagger) dapat menggali tanah lebih dalam lagi sehingga timah yang dihasilkan lebih banyak. Bendungan pice mengatur kedalaman air sesuai dengan panjang Ladder EB yang akan beroperasi. Jika EB sudah tidak bisa lagi menggali lebih dalam, maka pintu bendungan dibuka untuk mengeluarkan air sehingga Ladder dapat menjangkau tanah. Begitu juga bila permukaan air terlalu dangkal akan membuat EB tidak dapat beroperasi, pintu bendungan Pice ditutup sehingga permukaan air naik.

Pintu bendungan dibuka dan ditutup dengan sistem katrol, dimana setiap pintu mempunyai pengait yang dapat dihubungkan dengan kateo melalui kawat slang. Kateo tersebut berjumlah dua buah yang berada di setiap ujung bendungan. Sehingga setiap delapan pintu bendungan dapat diatur dengan satu kateo. Dengan menghubungkan kawat slang pada pengait pintu, kateo diputar oleh dua orang kuli sehingga satu pintu bendungan terangkat ke atas. Dan bila akan dibuka pintu selanjutnya, kawat slang dipindahkan ke pengait pintu tersebut dan begitu seterusnya.

Pekerja-pekerja yang dipekerjakan dalam pengoperasian bendungan dan kapal keruk adalah orang Belanda, pribumi dan cina. Kekurangan tenaga kerja ditutupi dengan pekerja-pekerja pribumi dengan sistem “Anak Emas”, yang pergi dan pulang kerja dijemput dan diantar kerumah masing-masing.

Sejak tahun 1953, Pemerintah RI mengambil alih pimpinan Tambang Timah dari GMB dan perusahaan itu berubah menjadi Perusahaan Negara Timah (PN Timah). Kemudian pemerintah mengelola sendiri sebagian besar kegiatan penambangan oleh pekerja-pekerja GMB yang teklah dididik di AC (Ambakh Curcus) dan CMO (Cursus Molenbas Opsiter) oleh Belanda. Sekitar tahun 1958 PN Timah membangun sebuah bendungan di salah satu aliran sungai Lenggang yang mengarah ke laut. Bendungannya tidak begitu besar, namun berfungsi untuk membantu Pice dalam mengatur air di sungai Lenggang bila air yang tertampung di sana melebihi kapasitas. Kemudian setelah beberapa tahun PN Timah beroperasi, muncul pendapat dari mereka bahwa pertambangan timah di Belitong sudah tidak produktif lagi. Mereka mengatakan jika terus dijalankan akan menyebabkan kerugian karena biaya operasi lebih besar daripada hasil yang diperoleh. Hingga tahun 1991 KK IX Meranteh keluar dari sungai Lenggang menuju Pulau Bangka.

Hal ini membuat tidak satu pun EB beroperasi di bendungan Pice dan Pice sendiri tidak memiliki arti dalam penambangan timah. Akhirnya Pice pun kurang terawat, bahkan sayangnya banyak bagian bendungan yang dicuri seperti kateo. Saat ini Pice menjadi objek wisata yang sarat nilai-nilai sejarah, selain itu panorama yang indah kian menambah daya tarik sehingga ramai dikunjungi wisatawan.


2. Rumah Kapiten Phang Tjong Toen

Bangunan bersejarah atau Benda Cagar Budaya ini merupakan bangunan yang tidak berubah, artinya sejak dahulu memang begitulah bentuk adanya. Jika ditarik pada tahun 2012 ini, maka Rumah Kapiten Phang Tjong Toen telah berusia 144 tahun atau nyaris berusia satu setengah abad. Usia yang sudah ‘cukup’ tua, bukan?

Phang Tjong Toen adalah juru tulis tambang sejak John F. Loudon mulai membuka pertambangan timah di Belitung pada tahun 1853. Dibangun pada tahun 1868; disebut sebagai Rumah Kapiten dikarenakan sejatinya fungsi asli rumah ini adalah Rumah Kapiten. Kini rumah ini masih utuh dan terawat. Meskipun bukan milik pemerintah, namun tetap dirawat oleh keturunanya bernama Ny. Ester Lena. Karen termasuk benda cagar budaya; Rumah Kapiten Phang Tjong Toen pun Dilindungi oleh Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

3. Eks. Rumah Tuan Kuase (Hoofdadministrateur)

Sejarah Rumah Tuan Kuase atau Hoofdadministrateur tercatat dalam catatan harian John Francis Loudon berjudul ‘De eerste jaren Der Billiton-Onderneming’, dan telah diterbitkan tahun 1883 dalam bentuk buku. Dalam buku itu John Francis Loudon menceritakan masa pertama kali dia melakukan eksplorasi timah di Pulau Belitung pada tahun 1851.

Dengan Van Tuyl dibicarakan apakah sudah diperlukan untuk pengangkatan seorang Hoofd-Administrateur dari usaha yan sedang dijalankan. Yang harus memegang jabatan ini haruslah seseorang yang mengetahui seluk beluk pertambangan timah dan untuk ini hanya bisa didapat dari Bangka. Dalam penilaian nantinya yang tepat adalah Heydeman. Rencana selanjutnya adalah Van Tuyl akan menghubungi Heydeman di Sungai Selan dan saya beserta De groot akan menjelajahi Pulau Belitung karena hal ini sangat diperlukan untuk mendapatkan lebih banyak keterangan tentang pulau ini.

Rumah Tuan Kuase atau Hoofdadministrateur terletak sekitar 250 merter dari objek wisata Pantai Tanjungpendam, Juga tidak begitu jauh dari pusat Kota Tanjungpandan yang merupakan ibukota Kabupten Belitung. Ini merupakan bangun bersejarah peninggalan Belanda yang dilindungi oleh Undang – Undang Tentang Cagar Budaya.

Rumah Tuan Kuase merupakan salah satu dari sekian banyak bangunan bersejarah sekaligus Benda Cagar Budaya peninggalan Hindia Belanda yang ada di Belitung yang masih terawat sangat baik. Tidak begitu banyak informasi yang ada tentang Rumah Tuan Kuase atau Hoofdadministrateur ini, jika melihat halaman depan rumah ini yang selalu rapi dan bersih, sudah dapat dipastikan bahwa bangunan Benda Cagar Budaya yang satu ini sangat terawat dengan baik sekali. Selain sebagai bangunan peninggalan yang sarat akan nilai historis namun memiliki keunikan. Pada beberapa sudut halaman bangunan terdapat batu granit yang cukup besar serta diteduhi oleh beberapa pohon Beringin besar yang mungkin sudah berumur ratusan tahun, seiring dengan pembangunan awal Hoofdadministrateur ini.

Berkunjung ke kawasan Tanjungpendam, setiap pengunjung tidak hanya akan disajikan dengan bangunan Benda Cagar Budaya seperti Rumah Tuan Kuase yang sarat makna historis akan tetapi setiap pengunjung bisa melihat dan menikmati panorama Pantai Tanjungpendam. Pantai ini merupakan salah satu pantai terbaik yang dimiliki Belitung untuk menikmati sunset.


4. Makam Belanda – Kerkhoff
Jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia – Kerkhoff (Bahasa Belanda) berarti Pemakaman. Kerkhoff yang ada di Kota Tanjungpandan, Belitung ini merupakan salah satu dari sekian banyak Benda Cagar Budaya yang ada di Pulau Belitung, khususnya Kabupaten Belitung, lebih khusus lagi di Kota Tanjungpandan. Pemerintah Kabupaten Belitung melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sudah memberikan perhatian kepada makam orang-orang Belanda ini, yaitu bahwa Kerkhof ini merupakan Benda Cagar Budaya yang ada di Kota Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.


5. Jam Gede
Ada begitu banyak situs-situs bangunan bersejarah di Belitung yang telah berubah posisi dari lokasi awalnya bahkan ada juga yang telah hilang tanpa diketahui dimana rimbanya. Diantara semua yang sudah berubah adalah Jam Gede yang ada di Kota Tanjungpandan, Ibukota Kabupaten Belitung. Jam Gede merupakan situs sejarah yang menjadi Landmark Kota Tanjungpandan yang terletak di menara sebuah gedung yang sekarang menjadi Barata Department Store. Menurut Rosihan Sahib , Jam Gede yang ada sekarang ini bukanlah Jam Gede asli, melainkan sudah diganti dengan yang baru. Rosihan menggambarkan jam gede asli sama dengan jam yang ada di Kota Amsterdam, Belanda. Bandul Jam Gede ini terbuat dari kuningan. Warna dasarnya agak kekuning-kuningan dan angka-angka yang tertera pada jam tersebut adalah angka-angka Romawi. Menurut Rosihan “Yang pasti Kota Tanjungpandan kehilangan landmark-nya yaitu Jam Gede. Tidak tahu siapa yang menyimpan atau mengambilnya,” Mengapa bisa demikian? Ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena kurangnya kepedualian pemerintah setempat dan masyarakat agar peduli dengan benda-benda atau situs seperti Jam Gede tersebut. Beberapa waktu belakangan ini telah dibangun di boulevard Kota Tanjungpandan, Tugu Batu Satam, yang konon katanya akan difungsikan sebagai landmark Kota Tanjungpandan untuk menggantikan Jam Gede.


6. E.C (Electrische Centrale) Samak – Manggar

E.C (Electrische Centrale) pada masanya adalah salah sebuah bangunan penting yg dibangun di Bukit Samak – Kec. Manggar Belitung Timur pada tahun 1909 oleh perusahaan Belanda, Billiton Maatschappij. Billiton Maatschappij merupakan perusahaan milik kerajaan Belanda yg memiliki kuasa menambang timah di wilayah Bangka, Belitung dan beberapa tempat lainnya di masa penjajahan. Begitu fenomenalnya kisah bangunan E.C itu, hingga tak satupun penduduk Belitung yg tidak mengenal namanya.

Bangunan tersebut adalah sebuah stasiun pembangkit listrik bertenaga diesel. Pada masanya E.C sempat di klaim sebagai PLTD terbesar di Asia Tenggara. Mesin diesel sebagai pembangkit daya, pernah diperbaharui pada tahun 1955 dengan mendatangkan mesin diesel 4 tak/langkah, 10 cylinder produksi Stork-Hesselman – Belanda. Mesin tersebut mampu menghasilkan tenaga berkekuatan 2400Hp dg daya yg dihasilkan sebesar 1650 KW. Tidak tanggung-tanggung sebuah telaga turut difungsikan sebagai sumber pendingin untuk mesinnya. Getaran mesinnya dapat kita rasakan sampai radius kurang lebih 1 km.

Dengan kapasitas daya sebesar itu, E.C mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk 4 kecamatan pada waktu itu. Beberapa tangki berukuran besar disiapkan di tempat lain yaitu di pinggir pantai tak jauh dari bangunan E.C berada, khusus untuk menampung supply bahan bakar solar mesin dieselnya. Penduduk sekitar mengenal tempat tersebut dengan nama Olie Pier. Olie Pier sebenarnya dalam bahasa belanda kurang lebih artinya adalah pangkalan/pelabuhan minyak.

Namun amat disayangkan, bangunan tua yg seharusnya dapat dijadikan monumen untuk mengenang masa keemasan penambangan timah di P. Belitung. Bangunan tersebut sekarang telah rata dengan tanah akibat dari perbuatan tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab. Tinggal puing-puing bangunannya saja yg dapat disaksikan. Peristiwa tersebut terjadi ketika Belitung mengalami masa-masa sulit pasca PT. Timah. Sebagian besar bahan bangunan terutama bagian yg terbuat dari besi dan tembaga menjadi target penjarahan oknum-oknum yg tidak bertanggung-jawab tersebut. Seperti beberapa bangunan buatan Belanda lainnya, konon katanya sepasang pengantin Belanda lengkap dengan pakaian pengantinnya ikut dikuburkan di dalam sebuah ruangan khusus yg berada di bagian dasar bangunan E.C tersebut sebagai tumbal. Entah benar atau tidaknya, mitos tersebut telah menjadi bahan pembicaraan masyarakat setempat sampai saat ini.


7. Eks Rumah Tuan Kongsi (vertegenwoordiger)
Bangunan yg eks kediaman Tuan kongsi ini dibangun pada tahun 1906, sekarang tinggal tersisa reruntuhannya saja yang ada. Pada waktu itu bangunan tersebut didirikan di atas bukit Gunung Pandan, disebelah barat lapangan tenis Tanjung Pendam yang masih termasuk wilayah Museum Daerah di Tanjung Pendam.